Saya Prihatin

Saya Prihatin

Terbaiknews - ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Orang mudah cemburu bila kurang mendengar kisah-kisah tentang banyaknya pelaut yang juga mencintai gunung, Kekasih.

TINGTING Bocah bukan bocah biasa. Jangan pernah lupa kedigdayaan putri Pendekar Elang Langlang Jagad ini. Bersamanya Pendekar Sastrajendra, ayah angkatnya, mencari-cari sang buah hati yang telah minggat, Tingting Jahe. Tak jumpa-jumpa. Wajar kalau pendekar gaek itu mulai bersyak wasangka, ”Bocah ini sengaja menyesat-nyesatkanku karena kesurupan rasa cemburu pada Tingting Jahe-ku? Bukankah pencemburunya, Pendekar Perempuan Paling Dikagumi, sebelum kukalahkan bersumpah arwahnya akan menyusupi putri angkatku?”

Jangan pernah lupa. Dulu, sekali lompat, bocah bulat mata dan berambut tebal ini bagai Hanuman, sanggup tujuh kali mengelilingi bumi. Kini daya lompatnya ia kurangi. Dari ketinggian mirip Tibet ia tak perlu berpusing-pusing mengorbit bumi. Ia gendong Sastrajendra langsung terbang ke puncak gunung yang kelak kausebut Gunung Raung dan sedang bererupsi. Begitu hinggap, sang pendekar gelagapan turun dari punggungnya.

Itu pohon raksasa kauri. Ular-ular besar meliliti ranting, dahan, dan cabangnya. Di bawahnya bersimpuh macan tua. Sedang dijilat-jilatinya rambut panjang dan bergelombang perempuan yang lagi rebahan. Warna betisnya sewarna betis Tingting Jahe. O, tidak! Pendekar Sastrajendra terperangah. Macan tua sangat berbahaya bagi manusia. Macan uzur sudah tak mampu mengejar kijang, apalagi antelop. Mampunya cuma mengejar manusia. Di situ justru bahayanya. Tinggal sejurus saja, si hidung tak belang tapi tubuhnya belang ini akan mencupangi leher Tingting Jahe, lalu taringnya mencabik-cabiknya.

Air muka Sastrajendra berubah, seperti perubahan warna gunung yang dari jauh tadi biru dan kini hijau. Tingting Bocah melihat perubahan wajah ayah angkatnya dari menyeringai miris ke senyum-senyum. Mesem-mesem sebab mendadak yakin bahwa kekhawatirannya tadi lebay. Dulu sekali ia pernah menuturkan ajaran leluhur kepada Tingting Jahe tentang cara agar tak dimangsa predator. Caranya dengan sopan santun. ”Kalau kepergok macan, jangan sekali-kali menyapanya ’macan’, tapi hormatilah dengan sapaan ’kiai’…”

Sopanlah kepada alam. Kira-kira begitu inti ajaran leluhur yang ditularkan dari generasi ke generasi, termasuk kepada perawan tingting bakul kedai yang kini kita sapa Tingting Jahe. Jangan seperti manusia masa depan. Mereka kurang ajar kepada alam. Yang menggunduli hutan siapa, tapi akibat banjir dan longsornya mereka sebut bencana alam, bukan bencana manusia.

Tingting Jahe yang saat minggat dari ketinggian mirip Tibet tersesat di rimba tropika ini pasti sudah bertata krama terhadap alam yang kini diwakili macan. Macan itu menjilat-jilat rambut Tingting Jahe pasti dengan niat mengelus-elus. Sialnya, ketika Pendekar Sastrajendra mendekat, Tingting Jahe sirna. Tadi hanya ilusi. Menjelang kuku-kuku macan tua itu menerkam, Sastrajendra menjura dan menyapanya ”kiai”.

Kecewalah Tingting Bocah. Urung ia peroleh hiburan gratis perkelahian harimau tua dengan lelaki tua yang menguasai jurus harimau. Harimau itu pun pergi, tapi tak meninggalkan belang. Ajaibnya, di bawah pohon kauri raksasa hanya tertinggal aumannya. Kosong itu mengaum dan menggeram. Kosong itu menggeram dan menggelegar. Daun-daun kauri berguguran. Ular-ularnya rontok. Lama-lama suara itu menyusun kalimat parau.

”Pendekar, tak lama lagi kedudukanmu sebagai pemegang tampuk tertinggi dunia persilatan akan dikudeta. Jangan sewot. Tetaplah berkepala dingin. Bilang ’saya prihatin’ boleh-boleh saja. Itu sudah jadi ciri khasmu. Sewot? Jangan. Ingat karma!”

***

Siapa sangka Pendekar Sastrajendra akan kelimpungan mencari-cari Tingting Jahe yang selama ini dicuekinya di ketinggian mirip Tibet? Perempuan berpinggang aduhai ini bersama pendekar mirip kelak pebola Ibrahimovic menuju ketinggian itu. Bersama pendekar Bra, lelaki muda yang baru menguasai jurus-jurus pemungkas dari kitab Mas Elon, ia sudah tak sabar ingin menyaksikan pertarungan imbang dan kemenangan Bra.

Setelah menerabas awan gemawan, lagi-lagi Tingting Bocah mendaratkan Pendekar Sastrajendra di kawasan yang tak ada Tingting Jahe-nya. Yang ada malah rakyat panik. Mereka panik gegara penguasanya kurang santai. ”Baru dilaporkan satu warga saja terpapar wabah dari luar pulau, penguasa sudah kebakaran jenggot.” Mereka langsung curhat ke Sastrajendra yang masih asing, mungkin karena tampang tuanya tampang layak dicurhati.

”Penguasa macam apa itu, Kisanak? Tak bisa bikin rakyat tenang. Tak sampai hitungan jam mereka sudah memberlakukan pembatasan kegiatan sosial. Tempat-tempat yang baru dikunjungi oleh satu orang yang terpapar itu diumumkan dengan kentongan. Penguasa di pulau sebelah lebih woles dan santuy menghadapi wabah. Rakyat mereka jadi tenteram.”

Di pulau lain lagi, yang ternyata juga tak ada Tingting Jahe-nya, Pendekar Sastrajendra melerai demo masyarakat. Mereka berunjuk rasa gegara penguasa melarang cantrik-cantrika padepokan-padepokan nagari memakai atribut-atribut keyakinan yang dianut. Padahal, dari sekelebat Sastrajendra baca pengumuman di daun lontar saja, jelas-jelas yang penguasa mereka maksud adalah melarang padepokan-padepokan nagari mewajibkan cantrik-cantrikanya mengenakan atribut tersebut. Memakai sah-sah saja. Tapi bukan diwajibkan.

”Duh, Tingting Jahe, kamu di mana?” jerit hati Sastrajendra sambil wajahnya pura-pura bijak meredam demonstran yang masih ngeyel. (*)


SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Saksikan video menarik berikut ini: