Kasus Tinggi dan Kebijakan Tak Konsisten Buat Optimisme Konsumen Turun

Kasus Tinggi dan Kebijakan Tak Konsisten Buat Optimisme Konsumen Turun

Terbaiknews - Suasana sepi salah satu pasar swalayan di SerpongTangerang SelatanJakarta. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

– Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi SARS-CoV-2 mengikis daya konsumsi masyarakat. Itu tecermin dalam survei indeks keyakinan konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) yang turun pada Januari 2021. Masih tingginya kasus positif dan tarik-ulur kebijakan penanganan persebaran virus memperpanjang kondisi tersebut.

Survei mencatat, IKK selama bulan lalu berada di level 84,9. Angka tersebut lebih rendah dibanding Desember 2020 yang mencapai 96,5.

“Secara spasial, keyakinan konsumen menurun di 14 kota. Dengan penurunan terbesar di kota Surabaya. Kemudian Bandung dan Mataram,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Senin (8/2).

Dari sisi ekspektasi, konsumen tidak yakin terhadap kondisi perekonomian. Belum tentu dalam jangka waktu enam bulan mendatang akan membaik. Hal itu disebabkan perkiraan terhadap ekspansi kegiatan usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan penghasilan ke depan yang tidak sekuat bulan sebelumnya.

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali dan imbauan pelaksanaan protokol kesehatan belum berhasil meredam pandemi. Nyatanya, jumlah pasien masih terus bertambah.

Sore tadi, penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 8.242 orang. Semangat pemulihan yang tidak sejalan dengan data di lapangan, malah membuat masyarakat makin skeptis.

Di sisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P.G Talattov menilai, turunnya IKK Januari akibat PPKM serentak se-Jawa dan Bali pada awal tahun. Itu membuat aktivitas dunia usaha macet dan terbatasnya penghasilan masyarakat. Praktis, memengaruhi psikologis masyarakat dalam hal konsumsi.

Itu ditunjukkan dari komponen IKK Januari, yakni indeks kondisi ekonomi (IKE) turun di posisi 63 dari 68,6 di bulan sebelumnya. Begitu pula, dari komponen indeks ekspektasi konsumen (IEK) yang turun cukup drastis walaupun masih di atas 100. Dari level 124,3 menjadi 106,7.

“Artinya, masyarakat berjaga-jaga untuk enam bulan ke depan kalo kondisinya masih sama, mau tidak mau akan mengerem laju konsumsinya,” terang Abra saat dihubungi Jawa Pos.

Terutama pada responden dengan pengeluaran Rp 2,1-2,4 juta per bulan. Yang mana merupakan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Mereka khawatir kehilangan pekerjaan seiring kondisi ekonomi yang tidak pasti.

“Ini menunjukkan memang kondisi pandemi dan kebijakan PPKM memengaruhi daya beli masyarakat,” imbuhnya.

Menurut dia, kondisi pada 2021 semakin menantang. Karena tidak hanya di kelompok masyarakat menengah dan atas yang mengerem belanja. Tapi sudah diikuti masyarakat bawah. Ketika situasi ini terus dibiarkan, akhirnya itu akan memengaruhi kinerja ritel.

Selain itu, tarik-ulur kebijakan pemerintah dalam menangani persebaran Covid-19 tidak akan menyelesaikan dampak masalah ekonomi yang ditimbulkan dalam jangka pendek. “Januari pemerintah pusat mengambil alih dengan PPKM Jawa-Bali. Tanpa evaluasi yang jelas, dikembalikan lagi aturan penanganannya ke Pemda dengan PPKM mikro. Padahal kasus naik terus nih,” ucap Abra heran.

Dia menyoroti hasil evaluasi yang tidak disampaikan pemerintah terkait segala kebijakan penanganan kesehatan. Sehingga tidak ada kesimpulan yang jelas terkait hasil kebijakan itu. Ini tentu tidak bagus, karena akan memunculkan opini sepihak di kalangan masyarakat.

“Pandangan dari para pakar epidemiologi juga mengatakan pemerintah tidak konsisten. Berbicara vaksin, lebih ngeri lagi. Straits Times bahkan memprediksi Indonesia bisa 10 tahun baru selesai,” tandasnya.

Makanya, Abra mendorong pemerintah untuk mempercepat realisasi stimulusnya. Seperti bantuan sosial, bantuan tunai, dan insentif UMKM. “Termasuk juga kalau dimungkinkan nih, subsidi upah,” ujarnya. Sehingga akan menambah penghasilan masyarakat, dan itu akan membantu masyarakat lebih confidence untuk belanja karena punya tambahan.

Sementara itu, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede melihat penurunan IKK Januari disebabkan oleh merosotnya komponen ekspektasi maupun kondisi saat ini. Seperti, ketersediaan pekerjaan, pendapatan, dan daya beli.

“Semuanya secara bersamaan mengalami turun,” jelasnya.

Josua sepakat dengan Abra, bahwa turunnya optimisme masyarakat disebabkan oleh tingginya kasus harian Covid-19 di Indonesia. Meski, vaksin sudah mulai didistribusikan. Selain itu, PPKM Jawa-Bali menghambat aktivitas ekonomi.

“Ini yang membuat pemulihan daya beli masyarakat kembali terhambat,” ujar Josua.

Artinya, pemerintah harus berusaha ekstra untuk segera menekan laju persebaran Covid-19. Bila tidak ditangani dengan baik, maka ekspektasi masyarakat semakin melemah.