Dirham dan Kedaulatan Mata Uang

Dirham dan Kedaulatan Mata Uang

Terbaiknews - POLISItelah menangkap Zaim Saidipendiri Pasar Muamalahkarena menjadi pendiri pasar di Beji,...

POLISItelah menangkap Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah, karena menjadi pendiri pasar di Beji, Depok, itu sekaligus pengatur nilai tukar uang dirham dan dinar. Dia juga berperan sebagai inisiator serta penyedia lapak Pasar Muamalah, pengelola, dan menjadi wakalah induk, yaitu tempat menukarkan rupiah menjadi alat tukar dirham atau dinar. Zaim dianggap melanggar pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Jawa Pos). Pertanyaannya, ada apa dengan dirham?

Pasang surut sejarah peradaban ekonomi dunia tidak jauh dari eksistensi dirham. Kemilau dirham tidak hanya membuat silau peradaban masa lalu, tetapi juga masa kini. Zaim Saidi adalah sosok entrepreneur yang hidup di tengah kegalauan pengembangan peradaban saat ini dan mencoba mempraktikkan apa yang pernah dilakukan oleh masyarakat generasi awal di bidang mata uang.

Masih banyak sosok di Indonesia yang memiliki cara pandang seperti ini. Pada umumnya, dirham dianggap memiliki stabilitas intrinsik dan ekstrinsik serta mengandung imunitas terhadap goncangan ekonomi global. Eksistensi dinar dianggap ideal sebagai alat tukar dan pengendali pasar.

Dari sisi ide, Pasar Muamalah dengan alat tukar dirham cukup inovatif. Namun, dari sisi prosedur, founder-nya boleh dibilang overkonfiden dengan gagasan dan usahanya sehingga lupa bahwa rencana yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik. Setidaknya ada tiga problem dalam Pasar Muamalah.

Pertama, problem yuridis. Ada upaya untuk melakukan pembangkangan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam pasal 15 ayat (1) dinyatakan, ’’Pengeluaran rupiah dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.’’

Adapun problem yuridis paling telak adalah Zaim tidak mematuhi pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011 yang pada prinsipnya adalah setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Kedua, problem politis. Ada kesengajaan untuk tidak melaksanakan konsideran UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam konsideran tersebut dinyatakan, ’’Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki mata uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia.’’

Menurut G. Jelinek dan Paul Laband, negara berdaulat penuh dan menjadi lembaga tertinggi dalam masyarakat. Negara memegang kuasa pemerintahan. Tidak ada yang lebih tinggi dari negara, termasuk hukum yang ada di negara, karena hukum merupakan buatan negara. Dari aspek kedaulatan negara, Zaim mencoba menempatkan diri lebih tinggi dari kekuasaan negara.

Ketiga, problem ekonomis. Apa yang dinyatakan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin merepresentasikan dengan akurat problem ini. Bahwa transaksi menggunakan dirham dan dinar di Pasar Muamalah ilegal, tidak sesuai dengan aturan negara, dan menyimpang. Sistem keuangan Indonesia menggunakan uang rupiah untuk menjaga stabilitas supaya tidak terjadi kekacauan di sektor keuangan dan ekonomi nasional.

Di era modernisme hukum, untuk melibatkan masyarakat, niat yang ikhlas harus dilengkapi legalitas. Legalitas mutlak ada agar ada pelindungan hukum bagi pelaku pasar. Dengan cara demikian, hasil tidak akan mengingkari proses. Tampaknya Zaim tidak ingin berproses, yakni dengan meloncat dari konsep mata uang di era generasi awal Islam untuk langsung diterapkan di era positivisme hukum saat ini.

Padahal, jika ditelusuri, era nabi disebut syariah (Alquran dan sunah), berlanjut ke era fikih (penafsiran ulama), sampai di era qanun (peraturan perundang-undangan) dan qada (putusan pengadilan). Munculnya era qanun dan qada sebagai konsekuensi hidup bersama dalam kelompok yang disebut negara modern.

Ciri paling utama hukum modern adalah unifikasi dan kodifikasi. Mahfud MD menyebutnya sebagai prismatik hukum. Yakni, hukum nasional Indonesia dibangun dari berbagai bahan hukum yang relevan dengan realitas sosiokultur masyarakat Indonesia. Konsep prismatik hukum selaras dengan ijtihad model al manhaj al taisir yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) sebagai lembaga fatwa tunggal di Indonesia yang berwenang menerbitkan fatwa bisnis syariah.

Karena itu, siapa saja yang ingin menerapkan mata uang dirham seharusnya memahami berbagai tahapan yuridis. Pertama, harus ada fatwa DSN MUI. Sampai hari ini DSN MUI belum menerbitkan fatwa tentang mata uang dirham. Kedua, jika fatwa DSN MUI tentang dirham sudah terbit, tahap selanjutnya adalah resepsi (penyerapan) terhadap fatwa DSN MUI ke dalam peraturan Bank Indonesia (PBI). Jika PBI tentang mata uang dirham sudah terbit, saat itu mata uang dirham sah dan legal dipakai transaksi di seluruh wilayah Indonesia.

Tanpa melalui tahapan unifikasi, kodifikasi, dan positivisasi hukum ekonomi syariah ke dalam hukum nasional terlebih dahulu, sampai kapan pun setiap pengguna dirham atau dinar sebagai alat tukar di Indonesia akan dinilai sebagai perbuatan melawan kedaulatan mata uang Indonesia.

Akhirnya, penting dicermati apakah motif pembukaan Pasar Muamalah sebatas reaktualisasi mata uang dirham ataukah karena doktrin Kentucky dan Okinawa bahwa kontrollah emas, maka kamu mengontrol dunia (control gold you control the world). Apa pun itu, yang jelas dua motif tersebut belum kontekstual dan tidak kompatibel dengan tatanan hukum ekonomi yang berlaku di Indonesia. Semoga menjadi pelajaran untuk semua.(*)


*) Mohamad Nur Yasin, Guru Besar Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Ketua Perkumpulan Program Studi dan Dosen Hukum Ekonomi Syariah Indonesia

Saksikan video menarik berikut ini: